Nasional.ReaksiPress. Memahami sejarah Nahdlatul Ulama
(NU) sebagai jam’iyah diniyah (organisasi keagamaan) tidak
cukup hanya dengan membaca formalitas kelahirannya pada 31 Januari 1926 di
kampung Kertopaten Surabaya, bersamaan pembentukan Komite Hijaz yang akan
dikirim ke Arab Saudi.
Jauh sebelum itu, NU sudah ada dan berwujud dalam
bentuk jama’ah (community) yang terikat oleh
aktivitas keagamaan yang mempunyai karakteristik tertentu. Terkait hal
ini Rais Akbar Nahdlatul Ulama, Hadratusy Syaikh KH. Muhammad
Hasyim Asy’ari menyatakan:
قَدْ
كَانَ مُسْلِمُو الْأَقْطَارِ الْجَاوِيَّةِ فِي الزَّمَانِ الْخَالِيَةِ
مُتَّفِقِي الْآرَاءِ وَالْمَذْهَبِ، وَمُتَّحِدِ الْمَأْخَذِ وَالْمَشْرَبِ.
فَكُلُّهُمْ فِي الْفِقْهِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ النَّفِيسِ مَذْهَبِ الْإِمَامِ
مُحَمَّدِ بْنِ إِدْرِيسَ، وَفِي أُصُولِ الدِّينِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ الْإِمَامِ
أَبِي الْحَسَنِ الْأَشْعَرِيِّ، وَفِي التَّصَوُّفِ عَلىٰ الْمَذْهَبِ الْإِمَامِ
الْغَزَالِيِّ وَالْإِمَامِ أَبِي الْحَسَنِ الشِاذِلِيِّ .ٍ[2]
“Sungguh kaum muslimin tanah Jawa
(Nusantara) pada masa lalu sepakat dalam pendapat dan madzhabnya; tunggal
sumber rujukannya. Semuanya dalam fikih memedomani madzhab indah, madzhab
al-Imam Muhamamd bin Idris asy-Syafi’i, dalam ushuluddin memdomani madzhab
al-Imam Abu al-Hasan al-Asy’ari, dan dalam tasawuf memedomani madzhab al-Imam
al-Ghazali dan al-Imam Abu al-Hasan asy-Syadzili.”
Dalam musyawarah pemberian nama organisasi ini, KH.
Abdul Hamid dari Sidayu Gersik mengusulkan nama Nuhudlul Ulama dengan
penjelasan para ulama mulai bersiap-siap bangkit melalui perwadahan formal
tersebut. Namun pendapat ini mendapat sanggahan dari KH. Mas Alwi bin Abdul
Aziz.
Menurut beliau, kebangkitan ulama bukan sedang akan
dimulai, namun sebenarnya sudah bergerak jauh sebelum adanya tanda-tanda akan
terbentuknya Komite Hijaz, namun kebangkitan dan pergerakan ulama kala itu
memang belum terorganisir secara rapi. Sebab itu, KH. Mas Alwi mengusulkan
nama Nahdhatul Ulama yang lebih condong pada makna gerakan
serentak ulama dalam suatu pengarahan, atau gerakan bersama-sama yang
terorganisir.[3]
Dari sini bisa dipahami bahwa pendirian NU tiada lain
merupakan pengorganisasian, peningkatan dan pengembangan peran ulama pesantren
yang sudah ada. Dengan kata lain, didirikannya NU agar menjadi wadah bagi usaha
menyatukan langkah ulama pesantren dalam rangka pengabdian yang tidak terbatas
pada persoalan keagamaan saja–meskipun ini merupakan tujuan utamanya–, namun
juga merambah pada masalah-masalah sosial, ekononomi, dan persoalan
kemasyarakatan pada umumnya. Hal ini terlihat secara jelas dalam Statuen
Perkoempoelan Nahdlotoel ‘Oelama, Fatsal 2 dan 3:
“Fatsal 2:
Adapoen maksoed perkoempulan ini jaoetu:
“Memegang tegoeh pada salah satoe dari madzhabnya Imam ampat, jaitoe Imam
Moehammad bin Idris Asj-Sjafi’i, Imam Malik bin Anas, Imam Aboehanifah
An-Noe’man, atau Imam Ahmad bin Hambal, dan mengerdjakan apa sadja jang
mendjadikan kemaslahatan Agama Islam.”
Fatsal 2:
Oentoek mentjapai maksoed perkoempoelan ini maka
diadakan ichtiar:
1.
Mengadakan perhoeboengan di antara
‘Oelama-‘Oelama jang bermadzhab tersebut dalam fatsal 2.
2.
Memeriksai kitab-kitab sebeloemnja
dipakai oentoek mengadjar, soepaja di ketahoei apakah kitab itoe dari pada
kitab-kitabnja Ahli Soennah Wal Djama’ah atau kitab-kitabnja Ahli Bid’ah.
3.
Menjiarkan Agama Islam di atas madzhab
sebagai tersebut dalam fatsal 2, dengan djalanan apa sadja jang baik.
4.
Berichtiar memperbanjakkan
Madrasah-Madrasah jang berdasar Agama Islam.
5.
Memperhatikan hal-hal jang berhoeboengan
dengan masdjid2, langgar2, dan pondok2, begitoe djuga dengan hal ahwalnja
anak-anak jatim dan orang-orang jang fakir miskin.
6.
Mendirikan badan-badan oentoek
memadjoekan oeroesan pertanian, perniagaan, dan peroesahaan, jang tiada
dilarang oleh sjara` Agama Islam.” [4]
Selain itu, berdirinya NU tidak bisa dilepaskan dari
tujuan membangun semangat nasionalisme bangsa yang sedang terjajah. Selain
tercermin dalam keterlibatan KH. Abdul Wahab Hasbullah dalam Syarikat Islam,
Indonesische Studie Club, Nahdlatul Wathan, Taswir al-Afkar, dan berbagai
organisasi lainnya, hal ini sekali lagi ditegaskan oleh beliau sehari sebelum
lahirnya NU.
Setelah undangan pertemuan ulama untuk membicarakan
Komite Hijaz pada 31 Januari 1926 selesai diedarkan, Kiai Abdul Halim bertanya
kepada Kiai Wahab, apakah rencana pembentukan organisasi ulama itu mengandung
tujuan untuk menuntut kemerdekaan? Kiai Wahab menjawab dengan penuh
isyarat: “Tentu, itu syarat nomor satu. Umat Islam menuju ke jalan itu.
Umat Islam tidak leluasa sebelum Negara kita merdeka.”
Kiai Abdul Halim ragu dengan tujuan tersebut, sebab
pembentukan perkumpulan ulama saja baru pada tahap pengiriman undangan. Ia
bertanya: “Apakah usaha semacam ini bisa menuntut kemerdekaan?” Kiai
Wahab langsung menyalakan api rokoknya sambil berkata: “Ini bisa
menghancurkan bangunan perang. Kita jangan putus asa. Kita harus yakin tercapai
negeri merdeka.”
Dengan demikian, lahirnya NU juga didorong oleh
semangat membangun nasionalisme. Membangun nasionalisme pada waktu itu sama
halnya dengan membela tanah air, membela tuntutan rakyat untuk merdeka.
Penulis : Ahmad Muntaha AM
Sumber : Aswajamuda.com
Editor : A.Maradja