iklan *

Korelasi filosofi budaya Bugis-Makassar dan Agama Islam


Walaupun titik pijak sejarah Agama Islam masuk di tanah Bugis-Makassar terjadi pada Tahun 1605 M,  nilai-nilai luhur agama Islam pada dasarnya telah melembaga dan melekat erat pada diri masyarakat bugis makasar baik dalam bentuk pappaseng (petuah) pangngadekkeng (adat istiadat) maupun sikap-sikap hidup. Hal ini dibuktikan dengan adanya keselarasan pandangan dalam agama Islam dengan filosofi Bugis-Makassar.  Salah satu contoh dari adanya korelasi itu terdapat pada lima falsafah hidup yang mengakar kuat pada setiap masyaraka Bugis-Makassar. Lima falsafah yang dimaksud adalah; Adatongeng, Getteng, We’rre, Siri, Pesse/pacce.



Kultur sosial positif ini tercermin dari setiap diri pribadi masyarakat Bugis-Makassar dimanapun mereka berada, nilai-nilai hidup yang dianut secara turun temurun bahkan tercelup dalam jiwanya, kultur atau nilai yang dianut oleh masyarakat bugis-makassar dirangkum dalam lima filosofi hidup.
Adatongeng, adalah sesuainya kata dan perbuatan dan lebih kepada menyuarakan kebenaran apapun resikonya sebagaimana dalam Agma Islam diajarkan bahwa “katakanlah yang benar walaupun pahit akibatnya”. ‘Getteng’ adalah ketetapan dan keteguhan sikap dalam memegang kebenaran yang dipahaminya, yang dalam bahasa Islam disebut istiqomah, atau teguh pendirian.

Werre’ sendiri adalah sesuatu yang dijunjung tinggi karena menyangkut dan mencakup terhadap kehidupan pribadi orang lain atau kelompok didalam masyarakat, ketika seseorang diberi kepercayaan untuk menjaga atau mengurus kepentingan orang perorang atau kelompok yang diberikan kepadanya maka seorang Bugis-Maassar harus menjaga kepercayaan itu walaupun harus mempertaruhkan nyawa, dalam nilai-nilai Agama Islam hal ini disebut dengan istilah amanah. Sedangkan siri’ adalah bagian dari inti sari dari pada ketiga tersebut diatas ketika ada yang mencoba merenggut dari diri seorang suku bugis makassar maka ia akan merasa malu dan hilang kehormatan dirinya sebagai manusia dalam konteks Agama dikenal istilah malu adalah sebahagian dari iman.

Pesse (bahasa bugis) atau pacce (bahasa makassar) mengadung makna bersedianya seorang bugis makassar melebur diri dalam rasa saudaranya atau empati yang besar terhadap sesama manusia dan hal ini berselaras dengan kalimat dalam islam yaitu tidaklah seseorang disebut beriman sebelum ia mencintai saudaranya sendiri. Dalam riwayat lain dikatakan tidaklah beriman seseorang manakala ia kekenyangan sementara tetanggangganya kelaparan “tau de pessena/tena paccena”.

Dari penjelasan tersebut maka tidak mengherangkan ketika agama islam begitu cepat diterima oleh masyarakat bugis makassar karena adanya kesesuaian antara ajaran islam yang baru dengan falsafah hidup “attoriolong” mereka.


SM.Danial, Asq. S.Kom

Artikel

Budaya

Maros