AKU
Karya: Muhammad Alamsyah
Tuak
Aku terbang mencintai langit
Kupas maya
Telanjangi dunia
Kebebasan
Aku takar kebenaran
Tendang janji
Racuni basabasi
Selintang pena
Aku mengunyah kata menjeram suci
Merumbai kertas memori jiwa
Menyelami makna rindu memati
Hidup
Aku butuh irama
Mendendang syair berlagu merdu
Serupa rindu burung-burung payau bersuara kalbu
Cinta
Aku butuh sepi dipelukan malam
Lumpuhkan angin utara
Dalam bangsi senada sunyi gambus
titisan
Tuhan
Aku nyawa terpenjara waktu
Digauli bunga- bunga hidup
Sebisa mungkin memasuki surga- Mu
Makassar 30 Juni 2017
ALAMKU BERKAH ILAHI
Karya:
Muhammad Alamsyah
Bentang
rimba dinyanyikan burung-burung pialing
Pucuk-pucuk
pinus simpan gairah mentari di celah gemunung
Mengundang
rindu melepas galau
Kujatuh
cinta pesonanya melukis hijau
Gemercik air
terjun dari lembah-lembah sunyi
Sambung
nyawa ikan-ikan padi
Di tepi kali
anak-anak lantungkan barzanji
Petik buah,
tumbuh di tebing –tebing tinggi
Alamku
berkah Ilahi
Kini tak
sepermai dulu lagi
Sungai keruh
mengalir sepanjang pandang
Air telaga
meluap sepanjang padang
Sawah
kuning, seolah lautan berkarang
Ini bukan
musibah
Tapi bencana
diundang serakah
Tanah, air
bosan dillimpahi sampah
Udara racun,
dari mesin –mesin ciptaan para alamah
Kemana lagi
pelangi semesta melukis hujan ungu
Senja
memburu rindu pada langit biru
Jika alam
sudah kelabu
Tinggal
menunggu Tuhan menghempasnya jadi abu
Pangkep, 24
Desember 2017
* Alamah :
Orang pandai dan berilmu
BETAPA KEJINYA DUNIA
Karya :
Muhammad Alamsyah
Telah aku
warisi sanksi Adam
Terjerembap
menghumai bumi
Tak mungkin
aku lari wahai sang takdir
Bukankah
hidup dan mati bahkan kebangkitanku pun di sini?
Namun
sungguh
Demi masa
melingkupi laju angin
Betapa
kejinya dunia
Menjebak
jiwa berayun-ayun dalam lembah neraka
O.......
kehidupan
Persingkatlah
waktu memburu malam
Ketika aku
larut dalam janji-janji Tuhan
Biarkan
sunyi menapaki roh yang suci
Mengiringi
syahadatku menjumpai hakiki
Maros, 05
Desember 2017
HUJAN MUHARAM
Karya :
Muhammad Alamsyah
Langit
muharam kelabu
Lengkapi
musim yang suri
Bumi sunyi
perlahan diludahi gerimis kamis
Santri-
santri menari di bawah rindang ketapang
Bunga-bunga
temukan hidup dipenjara kemarau
Tangisan
awan semakin sedu
Deraslah
hujan
Deraslah
hujan
Deraslah
hujan
Mengguyur
dosa terhadap tuhan
Salam
–salam syukur pada-Nya sedalam cinta bertasbih
Hujan
muharam membawa cinta- Mu padaku
Di pelukan
matahari melisan rinduku pada-Mu
Pangkep, 21
September/01 Muharam 2017
HUJANLAH MEMAHAMI RINDU
Karya :
Muhammad Alamsyah
Tuhan
Akulah
lumpur hitam itu
Meramu hidup
dalam laknat menggores waktu
Tamak
bertuan musyrik, terjebak hudup yang
semu
Inilah jiwa
ingkar mendustakan janji peribadatan
Berjalan di
atas keakuan keangkuhan
Bintanglah
penunjuk jalan keresahan
Pertigaan
putaran jam kesah dalam penyesalan
Hujanlah
memahami rindu
Menepis
bayang pada cahaya tuhanku
Pada-Mu
diriku berlabuh
Atas nama
hamba di senyapnya subuh
Inilah sukma
menjumpa pada Kau Maha
Kawal roh
menyulam nur sampai batas usia
Pada sujud
memohon ampun
Kelabu luluh
dzikir tobat beruntun
Aku
bersanding pasrah
Pada-Mu
Allah Azzawajallah
Tuntunan
langkah mengarah
Takdir
mengalun ibah
Pangkep,
12 November 2017
KUDAKU
Karya :
Muhammad Alamsyah
Mentari digulung badai
Tak menjiwa
panas bumi
Kemana
kudaku pergi
Tiada kawan
kelana mencari api
Mungkinkah
berlari ke kaki bukit ?
Sepiku
merenda risau sengit
Tapal tapaknya kususur diiring gerimis pagi
Hari
berlumut tak jua kudapati kembali
Hijau padang
kandangmu wahai kudaku
Telah
kusulam pelana emas pundakmu
Kembalilah
dengan ringkik isyarat yang merdu
Tiada manja
selembut elusan tanganku
Kuda
hitamku tangguh
Tahun
berlalu bersama kita berpacu waktu
Lintangi
kausar memburu berubuh
Saling
mengimbang memaham hakikat hidup
Makassar, 20 Desember 2017
KUDAKU
Karya :
Muhammad Alamsyah
Mentari digulung badai
Tak menjiwa
panas bumi
Kemana
kudaku pergi
Tiada kawan
kelana mencari api
Mungkinkah
berlari ke kaki bukit ?
Sepiku
merenda risau sengit
Tapal tapaknya kususur diiring gerimis pagi
Hari
berlumut tak jua kudapati kembali
Hijau padang
kandangmu wahai kudaku
Telah
kusulam pelana emas pundakmu
Kembalilah
dengan ringkik isyarat yang merdu
Tiada manja
selembut elusan tanganku
Kuda
hitamku tangguh
Tahun
berlalu bersama kita berpacu waktu
Lintangi
kausar memburu berubuh
Saling
mengimbang memaham hakikat hidup
Makassar, 20 Desember 2017
LHO LUNG
Karya : Muhammad Alamsyah
I
Kau Jepang merayuku meniduri
angan-anganku seperempat malam. Aku tak biasa menulis puisi LhoLung, rangkaian
kata tak bisa mewakili inginku tentang bagaimana aku hendak memperlakukanmu.
Mungkin esok atau lusa aku bisa, beri aku waktu berguru pada musim yang
romantis, antara hujan dan angin aku pinjam bahasa asmaranya tentang bumi yang
merindukannya.
II
Bolehkah aku menjadi angin o....
johar yang merindangi jalan bersalju? Membawa pergi aroma rosa menyusupi
dinding-dinding alam sembunyikan ayunya kekasih pada sakura dan halimun jingga
berbias orange. Merampas warna pelangi, melukiskan lesung pipi kekasih di buih
memutih, dan engkau wahai gelombang jangan hapus senyum itu, sebab senada detak
jam menawar sepi, meluruh. Engkau sang badai, sembunyilah dalam kamar-kamar
mega karena beliung kuncupmu aku tunggangi mengantar getar doa-doaku menembus
ari terdalam jantung kasihku. Jadilah aku syahadat cinta setiap hela nafasnya
mengalun rindu.
III
Ini bukan syair penggoda Lho
Lung, tapi bisikan cinta memundaki jiwa, lahir dari manisnya tegukan tuak nipah Rammang-rammang memabukkan. Antara
maya dan fatamorgana, cinta - kasih sayang diserupakan waktu yang saga menjaga.
Datanglah di selasar ini, telah sekian lama arkaisnya irama kecapi di putih
hastaku bersenandung namamu.
IV
Lho Lung, tapi akulah biduk itu,
di tengah atlanta merantaukan sepi, diludahi langit ditertawakan belibis
samudera, hendak menyerupakan mimpi mentakhtai karang berpamor garam. Apakah
mungkin biduk yang karam, oleh mendung dan keajaiban angin membawanya pulang ke
dermaga impian?
V
Lho Lung, biarlah aku jadi puisi,
ditorehkan pada dinding-dinding ancala mempurba oleh cahaya pena gemintang,
jadi hening pada air yang terjun dari
muara cadas Bantimurung, bersama basahnya ranting-ranting jati Leang-leang,
biarlah aku jadi air mata yang tertinggal di atas hitamnya bebatuan
Tamangngura. Jadi rintih difahami luka-luka alam.
Maros, November 2017
MEMORI ERLINDA MELIPAT SENYUM
Karya : Muhammad Alamsyah
Sekejap kau hilang Erlinda
Setelah sembilan musim berganti kita hujani keringat asin
Ketika diksi kita rangkai bait-bait puisi bergulam pasrah
“ Duh...... nyala lagi bara itu dalam tungku sukmaku”
Bunga matamu menyulam temaram
Nyanyian sancamu mendawai asmara kelam
Purnamamu sembunyi pada hitam alam
“Ah..... lupakan saja kenangan itu Lam”
Waktu telah mendustaiku
Nadi-nadiku cemara meratap rindu
Nada-nadaku seruling menyanyi pilu
Menjamu hening, merajut waktu sendu merindang bambu
Hujan sahur mengguyur kalbu jadi tangguh
Dinginnya seirama rohmu menduda daku
Titisnya menjarum
Menusuk memori melipat senyum
Pangkep, 10 Desember 2017
NYAWA
Karya :
Muhammad Alamsyah
I
Akulah
burung-burung keluar dari gua-gua cadas kegelapan bersyap luka
Tiupan angin
kehadirannya diusir oleh musim
mengapit zaman
Suara roh
yang itari tulang-tulang langit
Air mata
yang dipunguti di kerling kerling kali mati
II
Nyawalah aku
Diselimuti gerimis
dibawa mengembara kematian
Di kawah
–kawah awan bermain pelangi diwarnai perih-perih dusta kekasih
Menulis
kerinduan dilumuri tinta kasih sayang abai
Antara perbatasan
surga – neraka memangku sepi
Menanti
kiriman doa- doa tulus kekasih
III
Akulah nyawa
Derita tubuh
terbunuh cinta
Ziarahi aku
pada basahnya air mata pelacur yang terpaksa
Pada nadi
lelaki yang membunuh gelora
Aku di sana menghiting keping keping dusta para
pecinta
Renungi
nyanyian –nyanyian pilu para terluka
Atas nama
takdir yang dilawan menikam kerinduan
Makassar,
Agustus 2017
SAJAK-SAJAK
CINTA TORAJA
Karya :
Muhammad Alamsyah
Kemilau
permata nirwana pancar cahaya
Perempuan
selendang lembut
Melenggam
syair-syair ombak
Terjam dada
berselimut cinta
Menjuntai
senyum
Gila jiwa
mati tak memilikinya
O..... gadis
Lakipadada
Semampai
ragamu lukisan Hawa menapak padang
Hasratku menggantung di bukit Rantepao
Dengarlah
Dengarlah
wahai kau kembang manila Toraja
Dengarlah
wahai kau pembunuh jiwa
Sungguh,
nyawaku lepas mengawan di langit Makula
Jika
cintaku menelikung tak memburu rindumu
Tak ada
gelisah sedahsyat ini
Laksana
gelombang menghantam karang
Aku benteng
cinta hancur oleh kerisauan kalbu
Padamu
nafasku mengalun seribu tahun tanpa ragu
Aku syair
wahai kasihku
Menggila
dalam heningnya ilusi
Waktu tak
sanggup membendungnya
Sambutlah
Pinangan
rinduku lewat ayat-ayat cinta
Kubisikkan
dalam keheningan
Mewarnai sejarah
di pesta cinta “rambu tuka”
Engkaulah
secangkir madu
Tetesan suci
melati jingga
Wahai
kekasih
Mari bermain
hujan senada senja menunggu malam
Purnama
cemburu mengadu pada awan kelam
Bimbang sore
bulan Juli
Kasih
melambai diiringan “rambu solo”
Engkau mumi
di tirai tongkonan menitip kenangan
Toraja –
Makassar, 2016-2017
“ SIRI NA
PACCE” MATI SURI DIGARAMI NAFSI-NAFSI
Karya:
Muhammad Alamsyah
Mendulang
rasa
Tikam gulana
Semboyan
pusaka
Larik-larik
budaya bertulis lontara tua
Lembar –
lembar sejarah
Matahari
telah menulisnya dengan darah memerah
Gelombang
melukisnya di bibir Barombong pantai tertua
Di pundak
pinisi dikidungkan lelaki titah perkasa
Pada sutra
Bugis bergaris berwaktu
Pada badik
Makassar berpamor rindu
“Siri”mengukir
harga diri dalam mat
“Pacce”
membunga dalam ibah tak bertepi
Ketamakan
para lelaki pengecut
Kemunafikan
para wanita kufur
Bukanlah
anak-anak moyang pemintal adat
Bukanlah
pewaris tunggal amanat leluhur
“ Siri na
pacce” suara tuhan dan
perikemanusiaan
Manalagi
bangsaku mencari makna tergulir?
Pada “Anging
Mammiri” di bawah pergi semilir angin hilir?
Pada
“Sulawesi Pakrasnganta” tanpa senandung
petikan kecapi?
Bukankah
“siri na pacce” mati suri digarami nafsi-nafsi?
Pangkep, 01
November 2017
Catatan kaki
:
*Siri : malu
: harga diri ( Bhs. Makassar)
*Na : dan :
kata penghubung dalam- ( Bhs. Makassar)
*Pacce:
perih : ibah ( Bhs. Makassar)
*Anging
Mammiri : Anging Berhembus ( lagu adat suku Makassar)
*Sulawesi
Pakrasanganta : Sulawesi Negeri Kita (
lagu adat suku Makassar)
SURAT BUAT ERLINDA
Karya :
Muhammad Alamsyah
Biarkan
merpati diskusikan cinta mentuba di malam Tuhan
Sembunyikan
kerinduan di rindangnya cemara natal
Kitab –kitab
ambigu bertuliskan keinginan ziarahi kesenyapan
Kau oksigen
bagi jiwaku yang lelah pada harapan dan impian
Saraf bagi
nadiku memutuskan hasrat pada bayang-bayang
Kutulis
surat untuk kau Erlinda
Karena jika
burung-burung tiada mengantar pesan
Mungkin
rinduku akan pulang menuju gelap yang menua
Makassar, 30
November 2017
Biodata Penulis |
MUHAMMAD ALAMSYAH. lahir di
Maros, 17 September 1985. Nama pena sosial media : Alamsyahdewa alam. Aktif
menulis puisi, cerpen dan esai. Aktif
dalam berbagai kegiatan seni- budaya.
Lelaki yang akrab di sapa Alam, bergabung dalam beberapa
komunitas seni sastra maya maupun nyata, dan bebagai komunitas seni rupa di
Sulawesi Selatan. Karya sastranya telah banyak terbit di
berbagai media cetak dan media online. Kecintaanya
terhadap seni sastra tidak membuat bakatnya dalam seni rupa ( lukis)
terlupakan. Giat cipta lukisan -lukisan eksperimental yang abstrak natural. WA
: 085230739973 / No Rek BCA: 8735001236 atas nama Muhammad Alamsyah. semestaalan@gmail.com