Sejak zaman lampau,
lelaki suku Bugis-Makassar menganggap badik sebagai saudara terdekat, hal ini digambarkan dalam elong “passele buku arusunna orowane iayanaritu
kawalie” yang berarti pengganti tulang rusuk lelaki yang hilang adalah
badik.
Badik sebagai senjata
khas suku Bugis-Makassar, selain daya magis dan aura mistis juga memiliki
keunikan dan ciri tersendiri berupa corak yang disebut dengan ‘pamoro’.
‘Pamoro’ adalah semacam corak, gambar atau urat yang terdapat di bilah badik, yang
memiliki banyak ragam dan penamaan oleh para pakar benda budaya setempat.
Jenis ‘pamoro’ yang dikenal pada bilah badik suku Bugis-Makassar
yaitu ‘pamoro daung ase’, ‘pamoro bunga
pejje’, ‘pamoro kalang kari, ‘pamoro rante-rante, ‘pamoro te’ba jampu’, ‘pamoro
kurisi’, ‘pamoro pesse pelleng’. Dan ‘pamoro
lappa kajang’ serta ‘pamoro gattarang
massusung’.
Penamaan ‘pamoro’ pada bilah badik biasanya
berangkat dari kemiripan benda yang ada dialam sekitar, karena pada dasarnya ‘breath early’ dari penempaan badik oleh
para ‘panre bessi’/ ‘paddede’ atau pandai besi adalah alam semesta. ‘basic
concepts’ dan ruhnya adalah apa yang terdapat dalam kehidupan manusia.
Penyematan nama itulah
kemudian yang menjadi penanda ragam jenis badik pada suku Bugis-Makassar, yang
dalam pandangan masyarakat awam, ia adalah sebuah gurat tanpa makna, ia adalah
warna tanpa nilai dan kekosongan pengetahuan generasi megapolitan mendegradasi
penghargaan terhadap benda budaya yang kerap terkonotosi negatif.
Penulis : AMaradja
Sumber: S. Muhammad Danial,
Ass. S.Kom)